Loader

Artikel

Resensi Novel Negeri 5 Menara Karya A. Fuadi

Ada sebuah pepatah yang mengatakan, “Buku yang baik adalah jendela yang membuka dunia baru.” Ungkapan ini rasanya pas untuk menggambarkan pengalaman membaca novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Sejak terbit pertama kali pada tahun 2009, novel ini tidak hanya disambut hangat, tetapi juga langsung menjadi inspirasi banyak orang, terutama generasi muda yang tengah mencari arah hidup. Kisahnya sederhana, namun sarat makna.

Novel ini bercerita tentang Alif Fikri, seorang remaja asal Maninjau, Sumatera Barat. Sejak kecil, ia bercita-cita melanjutkan sekolah ke Bandung, agar kelak bisa menjadi seperti B.J. Habibie—tokoh yang sangat ia kagumi. Namun, impian itu pupus karena sang ibu lebih menginginkan Alif masuk pesantren. Dengan setengah hati, ia akhirnya berangkat ke Pondok Madani (PM) di Jawa Timur.

Awalnya, Alif merasa kecewa dan minder. Baginya, dunia pesantren adalah sesuatu yang asing. Namun, perlahan segalanya berubah ketika ia berkenalan dengan lima sahabat barunya: Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Mereka kemudian dikenal dengan sebutan Sahibul Menara. Dari menara masjid pondok, keenam sahabat itu sering berkumpul, menatap langit sambil membicarakan mimpi-mimpi besar mereka.

Motto Pondok Madani, “Man Jadda Wajada” (siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil), menjadi pegangan hidup yang menyalakan semangat mereka. Meski penuh keterbatasan, para tokoh digambarkan berjuang keras, disiplin, dan pantang menyerah. Novel ini pun menggambarkan bagaimana doa, ikhtiar, serta persahabatan mampu menjadi energi besar dalam mewujudkan cita-cita.

A. Fuadi menggunakan gaya bahasa yang ringan, mengalir, dan mudah dipahami. Tidak ada istilah-istilah berat yang membebani pembaca. Bahkan, penggunaan bahasa Arab di pesantren dijelaskan dengan sederhana sehingga terasa akrab. Pembaca seolah diajak masuk ke dalam suasana Pondok Madani: dari rutinitas belajar, kegiatan ibadah, hingga keisengan khas santri yang penuh tawa.

Tokoh utama, Alif, digambarkan dengan konflik batin yang cukup kuat. Ia berangkat ke pesantren dengan keterpaksaan, namun akhirnya menemukan jati dirinya. Lima sahabatnya pun punya karakter unik, meski memang tidak semuanya tergali secara mendalam. Namun demikian, kebersamaan mereka berhasil menyuguhkan potret persahabatan yang hangat, jenaka, dan penuh makna.

Novel ini sarat dengan pesan moral. Yang paling menonjol tentu saja tentang arti kesungguhan. Motto “Man Jadda Wajada” tidak berhenti sebagai slogan, melainkan benar-benar diwujudkan dalam perilaku tokoh-tokohnya. Dari sini, pembaca diajak percaya bahwa siapa pun bisa sukses, asal mau bekerja keras dan tidak berhenti berusaha.

Selain itu, ada nilai religius yang kental, namun tidak terasa menggurui. Justru, pesan-pesan spiritual dibungkus dengan cerita ringan yang menghibur. Novel ini juga mengajarkan pentingnya persahabatan, kebersamaan, dan doa orang tua dalam menggapai cita-cita.

Jika dibandingkan dengan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Negeri 5 Menara memiliki benang merah yang sama: sama-sama mengangkat perjuangan anak-anak dari daerah terpencil yang bermimpi besar. Bedanya, Laskar Pelangi lebih menyoroti perjuangan pendidikan di sekolah miskin, sedangkan Negeri 5 Menara menekankan disiplin, doa, dan perjuangan santri di pesantren. Dua-duanya sama-sama mengajarkan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti bermimpi.

Negeri 5 Menara bukan sekadar novel remaja, melainkan karya yang menanamkan keyakinan kuat tentang pentingnya mimpi, doa, dan kerja keras. Membaca novel ini membuat kita merenung: betapa besar pengaruh kesungguhan, persahabatan, dan restu orang tua dalam meraih masa depan. Tak heran jika novel ini kemudian difilmkan dan menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Bagi siapa pun yang sedang merasa putus asa atau ragu dengan jalan hidupnya, Negeri 5 Menara bisa menjadi penyemangat. Ia bukan hanya hiburan, tapi juga guru kehidupan. Seperti yang diyakini Alif dan kawan-kawan: jika kita berani bermimpi setinggi menara, maka langit pun bukanlah batas.

Dapatkan koleksinya: di Perpustakaan SMK Muhammadiyah Sampit