
Ilustrasi : Siswa SMK Muhammadiyah Sampit sedang melaksanakan tadarus Al quran, sebelum kegiatan belajar di kelas.
Pendahuluan
Kepribadian Muhammadiyah merupakan rumusan identitas formal yang menjelaskan “siapa” Muhammadiyah secara organisasi — nilai dasar, tujuan gerakan, dan ciri khas amal usaha serta aktivitas dakwahnya. Dokumen dan penjelasan tentang kepribadian ini berfungsi bukan sekadar deskripsi historis, melainkan pedoman normatif yang menjadi rujukan bagi pimpinan, kader, dan amal usaha Muhammadiyah dalam beraktivitas di bidang keagamaan, sosial, pendidikan, kesehatan, dan kemasyarakatan. Pernyataan-pernyataan dalam kepribadian Muhammadiyah menegaskan posisi organisasi sebagai “gerakan Islam” yang berorientasi pada dakwah, tajdid (pembaharuan), dan amar ma’ruf nahi munkar; sekaligus menempatkan Islam sebagai landasan untuk terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera.
Sejarah Perumusan Kepribadian Muhammadiyah
Gagasan merumuskan “kepribadian” Muhammadiyah muncul pada akhir 1950-an dan awal 1960-an sebagai respons atas dinamika sosial-politik Indonesia pasca-kemerdekaan. Dalam konteks itu, para pemimpin Muhammadiyah merasa perlu merumuskan secara eksplisit apa yang menjadi jati diri (identity) persyarikatan agar tindakan organisasi tetap terarah dan terhindar dari salah tafsir di tengah arus ideologi dan politik yang berubah-ubah. Salah satu tokoh yang menaruh perhatian pada persoalan ini adalah KH. Faqih Usman; ide dan penjelasan awalnya kemudian digodok dan disempurnakan dalam forum organisasi hingga dirumuskan secara resmi pada masa Muktamar pertengahan abad ke-20. Perumusan formal yang sering dikaitkan dengan Muktamar ke-35 (sekitar awal 1960-an) menjadi titik legal-formal yang menempatkan kepribadian sebagai dokumen rujukan.
Alasan historis lain yang mendorong perumusan ini adalah adanya kebutuhan internal untuk mengharmoniskan amal usaha (pendidikan, kesehatan, sosial) dengan tujuan dakwah dan tajdid Muhammadiyah, sehingga amal usaha tersebut tidak sekadar bersifat administratif atau ekonomi, tetapi harus menjiwai misi keagamaan dan kemanusiaan organisasi. Perumusan kepribadian juga dimaksudkan untuk mempertegas posisi Muhammadiyah di tengah masyarakat — sebagai gerakan yang membuka hubungan baik dengan berbagai kelompok, namun tetap berpegang pada prinsip-prinsip Islam yang dipahami Muhammadiyah.
Isi Pokok Kepribadian Muhammadiyah
Walaupun redaksi lengkap dokumen dapat berbeda tampilan pada tiap publikasi, inti kepribadian Muhammadiyah meliputi beberapa aspek pokok berikut:
Uraian dan Penjelasan tentang Unsur-unsur Kepribadian Muhammadiyah
1. Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah dan Tajdid
Pernyataan ini bukan sekadar label; ia menentukan pola tindakan organisasi. Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah melakukan penyuluhan, pendidikan, dan publikasi ajaran Islam yang dianggap murni. Sebagai gerakan tajdid, ada penekanan pada ijtihad (upaya interpretatif) untuk menghadapi persoalan zaman—misalnya pendidikan modern, kesehatan publik, dan teknologi—dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariat. Dalam praktiknya, ini terlihat pada kurikulum sekolah Muhammadiyah yang menggabungkan ilmu agama dan umum serta pada pembentukan rumah sakit, Lembaga Penelitian, dan badan amal yang berorientasi pada manfaat umat.
2. Tauhid dan Ibadah sebagai Landasan Etis
Menjadikan tauhid dan niat ibadah sebagai landasan berarti seluruh aktivitas—termasuk manajemen sekolah, pelayanan kesehatan, dan kegiatan sosial—dianggap sebagai ekspresi keimanan. Konsekuensinya, prosedur organisasi, tata kelola keuangan, dan pola kerja harus memenuhi standar moral dan syariah: kejujuran, amanah, dan kesejahteraan bagi pihak yang dilayani. Prinsip ini juga berimplikasi pada penilaian etis terhadap keputusan politik atau kebijakan publik yang melibatkan perwakilan/afiliasi Muhammadiyah.
3. Mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur
Kepribadian tidak hanya berbicara soal ritual; ia memuat dimensi sosial-ekonomi. Menurut rumusan, tujuan akhir dakwah Muhammadiyah adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan adil—sebuah tujuan yang mendorong amal usaha di bidang pendidikan, layanan kesehatan, ekonomi umat (seperti koperasi), dan bantuan sosial. Ini menempatkan Muhammadiyah pada posisi sebagai agen pembangunan sosial yang mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam perencanaan dan pelaksanaan program kemasyarakatan.
4. Tajdid dan Kritis terhadap Tradisi yang Menyimpang
Peran pembaharuan menuntut sikap kritis terhadap praktik-praktik keagamaan yang dinilai menyimpang dari sumber-sumber utama Islam (Al-Qur’an & Sunnah). Namun, metodologi tajdid Muhammadiyah secara historis juga menekankan rasionalitas dan pendidikan—pendekatan yang memungkinkan reinterpretasi hukum dalam kerangka maqasid (tujuan syariah) dan kebutuhan zaman. Pendekatan ini menjadi dasar bagi aktivitas ilmiah dan riset di lingkungan Muhammadiyah.
5. Keterbukaan, Ukhuwah, dan Peran Kemanusiaan
Kepribadian menegaskan nilai ukhuwah (persaudaraan) dan memperbanyak kawan—yang dimaknai sebagai usaha membangun kerja sama luas tanpa mengorbankan prinsip. Posisi ini mendorong Muhammadiyah untuk terlibat dalam aksi kemanusiaan lintas organisasi, dialog antar-umat beragama, dan inisiatif publik yang bersifat inklusif, seperti penanggulangan bencana dan pelayanan kesehatan gratis. Pernyataan publik dari pemimpin organisasi akhir-akhir ini menegaskan kembali bahwa Muhammadiyah harus beramal untuk perdamaian dan kesejahteraan.
6. Kepemimpinan, Kemandirian, dan Akuntabilitas
Kepribadian juga menuntut tata kelola organisasi yang baik: kepemimpinan yang menjunjung amanah, kemandirian organisasi dalam finansial dan program, serta akuntabilitas kepada anggota dan masyarakat. Hal ini penting agar amal usaha tidak menyimpang dari tujuan dakwah dan tujuan sosial yang telah dirumuskan. Di era modern, nilai-nilai ini relevan untuk menghadapi tuntutan transparansi publik dan profesionalisme manajerial.
Implikasi Kultural dan Praktis
Kepribadian Muhammadiyah berfungsi sebagai “filter nilai” yang mengarahkan semua tindakan organisasi. Implikasi praktisnya meliputi:
Selain itu, kajian akademik dan tulisan kontemporer menelaah bagaimana kepribadian Muhammadiyah dapat berkontribusi pada pembangunan karakter bangsa—menjadikan organisasi sebagai sumber pembentukan etika publik yang berbasis agama namun inklusif. Sebuah studi 2025 misalnya membahas kontribusi nilai-nilai kemuhammadiyahan terhadap pembangunan karakter nasional.
Penutup
Kepribadian Muhammadiyah adalah dokumen hidup yang merangkum jati diri organisasi: gerakan Islam yang berorientasi pada dakwah, pembaharuan (tajdid), dan pelayanan sosial demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Sejarah perumusannya muncul dari kebutuhan internal untuk menegaskan identitas di tengah tantangan sosial-politik pasca-kemerdekaan. Isi kepribadian memuat nilai-nilai teologis (tauhid, ibadah), metodologis (tajdid, ijtihad), dan sosial (ukhuwah, kesejahteraan), yang bersama-sama membentuk pola tindakan organisasi di berbagai bidang amal usaha. Pemahaman dan pengamalan kepribadian ini menentukan konsistensi Muhammadiyah dalam merespons tantangan zaman—menjadikannya organisasi agama yang juga berfungsi sebagai agen perubahan sosial.
Redaksi : Humas