Loader

Artikel

Menjadi Guru Muhammadiyah Itu...

Ilustrasi : Guru SMK Muhammadiyah Sampit dan Panitia dalam acara Lomba hardiknas 2025

 

Dalam tradisi Muhammadiyah, guru bukan sekadar pengajar yang menyampaikan materi pelajaran; ia adalah teladan moral, agen pembaruan, dan penggerak transformasi sosial yang berpijak pada prinsip-prinsip Islam yang rasional dan berkemajuan. Untuk memahami bagaimana seharusnya guru Muhammadiyah, perlu dirujuk Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) sebagai landasan normatif, sekaligus memetik semangat dari pemikiran para tokoh Muhammadiyah—terutama K. H. Ahmad Dahlan—serta refleksi kontemporer dari para pemimpin Muhammadiyah sekarang seperti Haedar Nashir. Dari sinilah muncul sebuah gambaran pendidikan yang memadukan integritas spiritual, kompetensi profesional, dan kewajiban sosial-kebangsaan. 

Pertama, guru Muhammadiyah harus menegakkan kepribadian Islami yang konkret. PHIWM menegaskan bahwa warga Muhammadiyah diwajibkan menginternalisasi nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah dalam perilaku sehari-hari—nilai kejujuran, amanah, kerja keras, sederhana, dan kepedulian sosial—yang kemudian menjadi refleksi dalam cara mengajar, berinteraksi dengan murid, dan berperan dalam komunitas sekolah. Guru yang hanya menulari informasi tanpa menjadi teladan kepribadian akan kehilangan legitimasi moral; oleh karena itu pendidikan karakter bukan tambahan kosmetik, melainkan inti dari tugas mendidik menurut paradigma Muhammadiyah. 

Kedua, guru Muhammadiyah mesti menjadi pembawa ilmu yang bermanfaat (ʿilm nafiʿ). Ahmad Dahlan menempatkan pendidikan sebagai alat pembebasan dari kebodohan dan penjajahan—pendidikan yang mengajarkan akal sehat, moral, dan kemampuan praktik untuk membangun masyarakat yang mandiri. Dari perspektif ini, kompetensi guru meliputi penguasaan materi, kemampuan pedagogis modern, serta kapasitas untuk mengaitkan ilmu dengan masalah nyata umat dan bangsa. Guru bukan penjaga tradisi yang dogmatis; ia adalah pembaru yang menghidupkan nalar keagamaan dan kecakapan hidup siswa agar mereka siap menghadapi tantangan zaman. 

Ketiga, guru Muhammadiyah harus mengabdikan ilmunya untuk kemaslahatan sosial dan kebangsaan. Sikap pengabdian ini menuntut guru melihat perannya lebih luas daripada sekadar ruang kelas: ia berkontribusi dalam pembangunan moral komunitas, advokasi keadilan, dan penguatan nilai-nilai kebangsaan. Haedar Nashir menegaskan pentingnya dimensi kemanusiaan dalam peran akademis dan keilmuan—bahwa gelar dan status akademik adalah amanah yang harus memberi manfaat nyata bagi umat. Guru Muhammadiyah harus berjiwa ‘ulul al-bab’: menggabungkan pengetahuan, hikmah, dan tindakan yang membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan. 

Keempat, guru Muhammadiyah harus menjadi fasilitator pembelajaran yang inklusif dan kontekstual. Prinsip-prinsip PHIWM menuntut agar kehidupan Islami diwujudkan dalam konteks pribadi, keluarga, dan masyarakat—yang berarti pengajaran harus relevan dengan konteks lokal dan kebutuhan masyarakat. Guru perlu mengembangkan pendekatan yang menghormati keberagaman, mengedepankan dialog rasional, serta menggunakan metode yang mendorong berpikir kritis dan kreativitas. Dengan begitu, pendidikan menjadi alat pemberdayaan ekonomi, sosial, dan intelektual bagi murid-muridnya, bukan sekadar reproduksi teks-teks agama. 

Kelima, etika profesional dan disiplin moral harus menjadi ciri khas. Guru Muhammadiyah harus konsisten antara kata dan perbuatan: memelihara amanah, menjaga akhlak, serta menunjukkan kesederhanaan dan keterbukaan. Praktik-praktik seperti ketepatan waktu, kualitas persiapan pembelajaran, kepedulian terhadap perkembangan individu murid, serta keterlibatan aktif dalam kegiatan sosial keagamaan menegaskan bahwa profesionalisme adalah bentuk ibadah dan pengabdian. Sikap ini menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada institusi pendidikan Muhammadiyah dan meningkatkan peran guru sebagai pemimpin moral lokal.

Keenam, guru Muhammadiyah perlu mengembangkan jiwa kewirausahaan sosial dan inovasi pendidikan. Sejarah Muhammadiyah menunjukkan kecenderungan untuk berinovasi—mendirikan sekolah, rumah sakit, dan lembaga sosial sebagai bentuk amal islami yang terorganisir. Guru modern mesti meneruskan tradisi ini dengan mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan, STEM, dan literasi digital ke dalam kurikulum sehingga lulusan mampu berkontribusi dalam pembangunan ekonomi nasional dengan tetap berpegang pada etika Islam. Ini sejalan dengan semangat berkemajuan yang menjadi ciri khas Muhammadiyah. 

Terakhir, semangat pengabdian untuk umat dan bangsa harus menjadi motor motivasi. Pengabdian ini melampaui sekadar pekerjaan; ia adalah panggilan yang berakar pada rasa tanggung jawab historis Muhammadiyah untuk membangun peradaban bangsa. Guru yang bersemangat pengabdian akan menanamkan dalam diri murid nilai nasionalisme yang inklusif—menghargai Pancasila dan konstitusi—serta komitmen terhadap kemanusiaan universal. Rasa kasih sayang terhadap umat, sinergi antar lembaga keagamaan dan pendidikan, serta kepedulian terhadap isu-isu kemasyarakatan (kesehatan, lingkungan, kemiskinan) menjadikan peran guru relevan bagi masa kini dan masa depan.

Guru Muhammadiyah adalah figur yang memadukan kepribadian Islami, kompetensi profesional, kepedulian sosial, inovasi pendidikan, serta semangat pengabdian kepada umat dan bangsa. Landasan normatif dari PHIWM memberi bingkai nilai; sedangkan warisan pemikiran Ahmad Dahlan dan refleksi kontemporer pemimpin Muhammadiyah menuntun praktik pedagognya agar selalu relevan dan transformatif. Ketika guru menempatkan ilmunya sebagai amanah untuk kemanfaatan terbesar, maka ia bukan hanya mendidik murid—ia menanam benih peradaban yang berkemajuan untuk Indonesia. Semoga setiap guru Muhammadiyah dapat menginternalisasi panggilan ini: menjadi teladan, pemberdaya, dan pelayan umat yang berintegritas. 

 

Editor: Humas