KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah)
Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam modern terbesar di Indonesia, memiliki posisi strategis dalam pembentukan wajah Islam di tanah air. Sejak didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta, Muhammadiyah telah mengembangkan corak pemikiran Islam yang khas, yang kemudian dikenal sebagai paham agama Muhammadiyah. Paham ini bukan sekadar kumpulan dogma atau tradisi keagamaan, melainkan sebuah kerangka metodologis yang menjadi fondasi dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam. Dengan demikian, kajian terhadap paham agama Muhammadiyah merupakan sebuah upaya untuk memahami epistemologi Islam modern di Indonesia yang menekankan pada tajdid (pembaharuan), purifikasi (pemurnian), sekaligus dinamisasi pemikiran keislaman.
Paham agama dalam Muhammadiyah berpijak pada prinsip bahwa Islam adalah agama wahyu yang diturunkan Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW untuk menjadi pedoman hidup manusia. Muhammadiyah memahami Islam secara menyeluruh sebagai agama yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (hablum minallah), hubungan manusia dengan sesama (hablum minannas), dan hubungan manusia dengan alam semesta.
Secara epistemologis, Muhammadiyah mendasarkan paham keagamaannya pada Al-Qur’an dan Sunnah yang sahih sebagai sumber utama. Keduanya dipandang sebagai otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan keagamaan. Namun, Muhammadiyah juga mengakui pentingnya akal, ijtihad, dan ilmu pengetahuan sebagai instrumen penafsiran. Hal ini menunjukkan keterpaduan antara teks wahyu dengan konteks sosial dalam paham keagamaan Muhammadiyah.
Muhammadiyah menegaskan bahwa paham keagamaannya murni bersandar pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang otentik. Al-Qur’an dipahami sebagai petunjuk yang berlaku universal, sementara Sunnah dipandang sebagai penjelas dan penguat prinsip-prinsip Al-Qur’an. Muhammadiyah menolak segala bentuk takhayul, bid‘ah, dan khurafat (TBC) yang tidak bersumber pada kedua sumber tersebut.
Paham agama Muhammadiyah bersifat purifikatif, yakni mengembalikan praktik keagamaan kepada kemurnian ajaran Islam. Hal ini bukan berarti menolak tradisi secara mutlak, melainkan menyaring tradisi berdasarkan kesesuaiannya dengan nilai Islam. Selain itu, Muhammadiyah juga membawa semangat tajdid atau pembaruan. Tajdid dipahami dalam dua makna: (a) tajdid i‘adah (pemurnian kembali kepada sumber aslinya), dan (b) tajdid ibda‘ (pembaruan dalam pemikiran, metodologi, dan praksis sesuai dengan perkembangan zaman).
Dalam memahami agama, Muhammadiyah mengedepankan pendekatan rasional. Ajaran Islam dipandang sejalan dengan akal sehat dan ilmu pengetahuan. Karena itu, Muhammadiyah mengembangkan corak pemikiran Islam yang kontekstual: ajaran Islam tidak boleh dipahami secara tekstual semata, melainkan harus diproyeksikan untuk menjawab tantangan sosial, budaya, politik, dan ekonomi umat.
Muhammadiyah menolak dikotomi antara agama dan dunia, atau antara ibadah dan muamalah. Bagi Muhammadiyah, Islam adalah agama yang menyeluruh, mencakup segala aspek kehidupan. Konsekuensinya, paham agama Muhammadiyah mendorong terwujudnya amal usaha di berbagai bidang: pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, hingga politik kebangsaan.
Walaupun berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah, Muhammadiyah menempatkan diri sebagai gerakan moderat (wasathiyah). Muhammadiyah tidak menutup diri dari perbedaan pendapat, baik dalam internal Islam maupun antarumat beragama. Prinsip toleransi dan keterbukaan menjadi landasan penting dalam paham keagamaan Muhammadiyah, sebagaimana tercermin dalam peran sosialnya yang luas di tengah masyarakat plural.
Secara lebih spesifik, Muhammadiyah telah merumuskan beberapa prinsip pokok paham keagamaannya yang dijadikan rujukan resmi organisasi:
Paham agama Muhammadiyah tidak berhenti pada tataran doktrin, tetapi diwujudkan dalam amal nyata. Melalui amal usaha, Muhammadiyah mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan pembangunan sosial. Misalnya, pendirian sekolah Muhammadiyah yang berorientasi pada pendidikan modern merupakan pengejawantahan paham bahwa Islam mendorong ilmu pengetahuan. Begitu pula dengan rumah sakit Muhammadiyah yang mencerminkan prinsip Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dalam pelayanan kesehatan.
Di bidang kebangsaan, paham agama Muhammadiyah melahirkan sikap moderat dan nasionalis-religius. Muhammadiyah konsisten mendukung NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 sebagai konsensus kebangsaan yang tidak bertentangan dengan Islam. Dengan demikian, paham agama Muhammadiyah memberi sumbangan penting bagi tegaknya negara-bangsa Indonesia.
Meski demikian, paham agama Muhammadiyah tidak lepas dari kritik. Sebagian kalangan menilai Muhammadiyah terlalu rigid dalam soal purifikasi sehingga berpotensi mengabaikan kearifan lokal. Di sisi lain, tantangan modernisasi dan globalisasi menuntut Muhammadiyah untuk lebih adaptif terhadap perkembangan zaman, termasuk dalam bidang teknologi digital dan isu-isu global seperti lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan keadilan sosial.
Namun demikian, semangat tajdid dalam Muhammadiyah justru membuka ruang bagi inovasi pemikiran keagamaan. Selama prinsip dasar Al-Qur’an dan Sunnah dijadikan fondasi, Muhammadiyah akan tetap relevan dalam menjawab tantangan zaman.
Paham agama dalam Muhammadiyah merupakan sebuah konstruksi pemikiran keislaman yang integratif, rasional, purifikatif, dan progresif. Ia bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah, dikembangkan melalui ijtihad, serta diwujudkan dalam amal usaha yang nyata bagi kemaslahatan umat. Dengan karakteristik moderasi, tajdid, dan keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan, Muhammadiyah berhasil membangun wajah Islam Indonesia yang modern, berkemajuan, dan berperadaban.
Paham agama Muhammadiyah bukan hanya menjadi panduan internal warga persyarikatan, tetapi juga telah memberi kontribusi besar bagi masyarakat luas, bangsa Indonesia, bahkan dunia Islam secara global. Karena itu, memahami paham agama Muhammadiyah bukan sekadar mempelajari ajaran internal organisasi, tetapi juga berarti membaca salah satu dinamika penting perkembangan Islam modern di Indonesia.