Loader

Artikel

Pentingnya Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di Sekolah Muhammadiyah

Dalam era globalisasi dan arus informasi yang cepat, sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki peran strategis bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan umum tetapi juga meneguhkan identitas dan ideologi organisasi. Bagi Sekolah Muhammadiyah, menanamkan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) bukan sekadar kegiatan ekstra kurikuler atau mata pelajaran formal semata, melainkan upaya fundamental membangun karakter, komitmen dakwah, dan arah gerak sosial-keagamaan peserta didik. Artikel ini membahas urgensi penanaman AIK di sekolah Muhammadiyah dengan rujukan pada pemikiran Haedar Nashir, kajian tentang kemuhammadiyahan, serta pandangan tokoh-tokoh Muhammadiyah terkait pendidikan dan pembentukan karakter.

Identitas sebagai dasar gerakan: mengapa AIK penting?

Muhammadiyah sejak kelahirannya menempatkan pendidikan sebagai instrumen utama pembaharuan masyarakat. AIK merangkum dimensi teologis (al-Islam) dan dimensi kebangsaan-organisasional (kemuhammadiyahan) yang berfungsi sebagai kompas lahir-batin bagi warga persyarikatan. Tanpa pemahaman AIK yang memadai, institusi pelaksana pendidikan Muhammadiyah rawan mengalami disorientasi tujuan: menjadi sekadar sekolah modern tanpa roh pembaruan Islam berkemajuan yang menjadi ciri khas persyarikatan. Prinsip ini telah ditekankan dalam berbagai dokumen dan tulisan yang menegaskan AIK sebagai jati diri yang harus menjadi ruh dalam kurikulum dan budaya sekolah. 

Haedar Nashir: penegasan Islam Berkemajuan dan penguatan ideologi

Haedar (Haedar Nashir), sebagai salah satu pemikir dan pemimpin Muhammadiyah kontemporer, sering menegaskan pentingnya penguatan pemahaman ideologi persyarikatan—terutama konsep “Islam Berkemajuan”. Menurut Haedar, tantangan berupa relativisme nilai, konsumerisme, dan arus ideologi lain menuntut Muhammadiyah memperkuat kader ideologisnya agar warga persyarikatan, termasuk pelajar, mampu menjaga orientasi gerakan tanpa kehilangan daya adaptasi terhadap perkembangan zaman. Oleh karena itu, pendidikan AIK perlu menjadi substrat pembelajaran yang konsisten, sistematis, dan aplikatif dalam kehidupan sekolah sehari-hari. 

Fungsi pendidikan AIK di sekolah: dari akhlak hingga keterampilan kritis

Penerapan AIK di sekolah Muhammadiyah memiliki beberapa fungsi konkret: 1) Pembentukan karakter berlandaskan tauhid: AIK menegaskan penguatan aqidah dan ibadah yang menjadi landasan etika personal siswa. 2) Pengembangan kemampuan berpikir kritis dan ilmiah: Muhammadiyah menekankan integrasi agama dengan ilmu pengetahuan; sehingga siswa diajak berpikir rasional dan bertanggung jawab dalam memecahkan masalah sosial. 3) Membentuk komitmen sosial dan dakwah: Siswa tidak hanya menjadi individu berprestasi, tetapi juga agen perubahan yang berkontribusi pada masyarakat. 4) Memelihara loyalitas organisasi sekaligus membuka ruang pluralisme: AIK mengajarkan cinta pada persyarikatan tanpa menutup penghormatan pada keragaman bangsa.

Temuan penelitian dan pedoman pendidikan Muhammadiyah memperlihatkan bahwa implementasi AIK—jika dikemas dengan metode partisipatif dan kontekstual—mampu menghasilkan lulusan yang religius sekaligus produktif. 

Strategi penanaman AIK di sekolah Muhammadiyah

Agar AIK tidak sekadar slogan, sekolah perlu merancang strategi implementasi yang konkret dan terukur: 1) Integrasi kurikulum: AIK harus masuk tidak hanya dalam mata pelajaran PAI/AIK formal, tetapi juga disisipkan dalam mata pelajaran umum (mis. proyek sains, kewirausahaan sosial) sehingga nilai keislaman dan nilai kemuhammadiyahan terealisasi dalam aktivitas nyata. Pedoman pendidikan AIK menekankan peran kurikulum yang melintasi disiplin ilmu. 2) Model pembelajaran kontekstual dan aktif: Pembelajaran berbasis proyek, pengabdian masyarakat, dan kegiatan kepemimpinan pelajar (student leadership) menjadikan AIK hidup di luar kelas. 3) Pembinaan budaya sekolah: Adab, tata nilai, hingga simbol-simbol organisasi (mis. upacara organisasi, majelis ta’lim) perlu dipertahankan agar suasana sekolah menggambarkan karakter Muhammadiyah. 4) Penguatan kader guru dan tenaga kependidikan: Guru sebagai agen AIK perlu mendapatkan pelatihan pemikiran Muhammadiyah agar konsisten dan inspiratif. Haedar dan literatur kemuhammadiyahan menyoroti pentingnya pengkaderan ideologis bagi pendidik.

Tantangan dan cara mengatasinya

Praktik menanamkan AIK tidak bebas tantangan: globalisasi budaya populer, era digital yang menghadirkan disinformasi, serta tekanan performa akademik yang kadang mengesampingkan pendidikan karakter. Untuk itu sekolah harus fleksibel: memanfaatkan media digital untuk dakwah yang menarik bagi generasi muda, mengukur capaian AIK dengan indikator perilaku (bukan semata nilai ujian), serta menggalang sinergi dengan ortom (organisasi otonom) Muhammadiyah agar pembinaan tidak terfragmentasi. Rekomendasi ini konsisten dengan upaya rekonstruksi paradigma AIK yang diusung berbagai kajian Muhammadiyah. 

Dampak jangka panjang: individu, organisasi, dan bangsa

Sekolah Muhammadiyah yang berhasil menanamkan AIK secara konsisten berpotensi melahirkan generasi yang berintegritas—menggabungkan spiritualitas, kompetensi akademik, dan kepedulian sosial. Bagi Muhammadiyah, ini berarti regenerasi kader yang mampu meneruskan misi persyarikatan dalam berbagai ranah (pendidikan, dakwah, sosial, politik). Bagi bangsa, lulusan semacam ini memperkuat modal sosial yang berlandaskan etika, toleransi berbasis keimanan, dan keahlian—kualitas yang krusial untuk menghadapi tantangan pembangunan di abad ke-21.

AIK sebagai investasi pendidikan

Menanamkan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di sekolah Muhammadiyah bukan pekerjaan sesaat, melainkan investasi ideologis yang memerlukan desain kurikulum, pengkaderan pendidik, dan budaya sekolah yang koheren. Mengutip semangat pemikiran Muhammadiyah modern: pendidikan harus memerdekakan akal dan hati sekaligus—mewujudkan generasi yang beriman, berilmu, dan berkhidmat. Dengan demikian, AIK tidak hanya menjaga identitas persyarikatan, tetapi juga memperkaya kontribusi Muhammadiyah terhadap peradaban bangsa. 

 

Sumber rujukan :

  1. Nashir, Haedar. Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Bandung: Mizan, 2013.
  2. Nashir, Haedar. Manifesto Gerakan Muhammadiyah Abad Kedua: Agenda Strategis Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2016.
  3. Nashir, Haedar. Islam Berkemajuan untuk Peradaban Dunia. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015.
  4. Baidlowi, A. Al-Islam dan Kemuhammadiyahan: Pemikiran, Implementasi, dan Relevansi Pendidikan Muhammadiyah. Yogyakarta: Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, 2018.
  5. Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2000.
  6. Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Kepribadian Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2015.
  7. Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah. Pedoman Pendidikan Al-Islam, Kemuhammadiyahan, dan Bahasa Arab di Sekolah Muhammadiyah. Yogyakarta: Majelis Dikdasmen, 2019.
  8. Shofan, Moh. Pendidikan Berkemajuan: Refleksi Pemikiran Pendidikan Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017.
  9. Alwi, Zainuddin. “Rekonstruksi Paradigma Pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.” Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 5, No. 2 (2020): 145–160.
  10. Suyatno & Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Revitalisasi Pendidikan Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2020.