Sampit-- Suasana In House Training (IHT) di SMK Muhammadiyah Sampit, yang berlangsung dari tanggal 13 - 15 Oktober 2025 terasa berbeda. Dengan mengusung tema : IHT: Pembelajaran Mendalam Koding dan Kecerdasan Artifisial, dan Penguatan Pendidikan Karakter, ada di sisipkan materi terkait Peneguhan Ideologi dan Gerakan Pendidikan Muhammadiyah” yang disampaikan oleh Khilmi Zuhroni, M.E. Dengan adanya materi khusus terkait ideologi Muhammadiyah, acara inipun menjadi momentum reflektif untuk memperdalam kembali jati diri gerakan Muhammadiyah, sekaligus meneguhkan peran pendidikan sebagai poros utama dakwah Islam berkemajuan.
Dalam paparannya, Khilmi Zuhroni menegaskan bahwa Muhammadiyah bukan sekadar organisasi sosial-keagamaan, melainkan gerakan Islam yang berlandaskan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid (pembaruan), bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. “Identitas Muhammadiyah adalah agama itu sendiri,” ujarnya mengutip M. Djindar Tamimy, salah satu ideolog Muhammadiyah. Artinya, segala bentuk perjuangan Muhammadiyah tak lain adalah wujud nyata pengamalan agama.
Menurutnya, memahami Muhammadiyah yang sebenarnya harus dimulai dengan memahami Islam secara mendalam, menghayatinya, serta berkomitmen memperjuangkannya. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang pertanyaan mendasar ‘Apakah agama Islam itu?’ menjadi titik pijak bagi lahirnya gerakan pembaruan tersebut. “Dari sinilah kita diajak untuk kembali kepada semangat awal dakwah, yakni membumikan nilai-nilai Islam dalam setiap aspek kehidupan,” tutur Khilmi.
Sejak berdiri pada 1912, Muhammadiyah konsisten menjalankan strategi dakwah melalui berbagai bidang: sosial, pendidikan, ekonomi, kesehatan, hingga kebudayaan. Pendekatan yang komprehensif ini berpijak pada cita-cita luhur: menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Dalam konteks itu, Khilmi menjelaskan, gerakan Muhammadiyah bertumpu pada empat pilar utama: akidah, akhlak, ibadah, dan muamalah duniawiyah. Akidah yang murni menolak segala bentuk kemusyrikan, bid’ah, dan khurafat, sementara akhlak dibangun di atas nilai-nilai Qur’ani yang luhur. Adapun muamalah duniawiyah menekankan pengelolaan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik dengan berlandaskan ajaran Islam, menjadikan setiap aktivitas sebagai bagian dari ibadah.
“Prinsip muamalah ini menunjukkan bahwa Islam bukan hanya urusan ibadah ritual, tapi juga menyangkut pengelolaan dunia. Maka, pendidikan, ekonomi, bahkan politik sekalipun, semuanya harus bernilai ibadah,” tegasnya.
Khilmi menyoroti peran sentral pendidikan dalam gerakan Muhammadiyah. Bagi KH. Ahmad Dahlan, pembebasan umat harus dimulai dari dunia pendidikan. Maka, berdirilah sekolah-sekolah Muhammadiyah dengan model modern yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum — langkah revolusioner pada awal abad ke-20.
“Pendidikan Muhammadiyah tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter, keimanan, dan semangat kemajuan,” ujarnya. Pendidikan diposisikan sebagai sarana pencerahan dan pembebasan umat dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan. Karena itu, sekolah-sekolah Muhammadiyah disebut sebagai ‘lahan dakwah yang hidup’ — tempat kaderisasi ideologis sekaligus penguatan nilai-nilai Islam berkemajuan.
Visi pendidikan Muhammadiyah, sebagaimana tertuang dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah (2010), adalah terbentuknya manusia pembelajar yang bertakwa, berakhlak mulia, berkemajuan, dan unggul dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS). “Ini bukan sekadar visi administratif, melainkan cita-cita ideologis yang harus diwujudkan dalam setiap amal usaha pendidikan,” tambahnya.
Lebih jauh, Khilmi menekankan pentingnya kepemimpinan profetik di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Mengutip pemikiran Prof. Dr. Haedar Nashir, ia menegaskan bahwa kualitas pendidikan tidak akan maju tanpa kepemimpinan yang berakhlak, adil, dan visioner. Pemimpin Muhammadiyah idealnya memiliki empat sifat kenabian: siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah.
“Kepemimpinan profetik menolak budaya hedonistik dan pragmatisme birokratik yang kerap menggerus ruh dakwah,” ujar Khilmi. Kepala sekolah, menurutnya, harus menjadi role model yang mampu memadukan manajemen modern dengan spiritualitas Islam. Kepemimpinan seperti ini tidak hanya membangun tata kelola yang efektif, tetapi juga menumbuhkan keikhlasan dan semangat pengabdian di kalangan guru serta peserta didik.
Dalam penutup materinya, Khilmi Zuhroni menegaskan bahwa gerakan pendidikan Muhammadiyah bukan sekadar urusan internal organisasi, melainkan kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa. Melalui ribuan amal usaha di bidang pendidikan, Muhammadiyah telah melahirkan generasi pembelajar yang berakhlak mulia, moderat, dan terbuka terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.
“Bangsa Indonesia memerlukan pendidikan yang mencerahkan dan humanistik,” ujarnya, mengutip konsep Pendidikan Berkemajuan (2014). Model pendidikan yang hanya mengejar nilai kognitif tanpa membentuk karakter dan kepekaan sosial harus ditinggalkan. Pendidikan sejati, katanya, adalah yang melahirkan insan beriman, cerdas, dan peduli terhadap kemanusiaan.
Reporter : Humas